Pater Wijbrand

Pater Wijbrand
CRESCAT ET FLOREAT

Aug 25, 2010

Bau Tanah Selepas Hujan

.......:
"Tuhan juga bukan soal teologi seperti apa dan filsafat aliran mana,
sehingga konstruksi di luar skenario pikir kita itu sesat dan bidah.
Tuhan itu adalah soal apa yang kita yakini ketika kita bertindak.
Tindakan yang kita lakukan dengan kesungguhan hati, telah menjadi doa
dan madah. Maka, hidup ini adalah sebuah kitab suci tertua dan
terbuka yang ditulis oleh Tuhan sendiri, alam ini adalah ruang ibadah
kita tanpa dinding dan tanpa atap, sesama kita adalah wujud
wajah-wajah Tuhan
yang menyamar yang perlu kita layani dengan setulus hati dan tindakan
kita adalah ritual suci di hadapan altar agung Yang Illahi."....

Terusannya di bawah ini:

Bau Tanah Selepas Hujan

Apa yang kita lakukan dalam hidup ini sebenarnya tidak begitu penting,
yang lebih penting adalah kita telah melakukannya. Manusia
mendefinisikan dirinya dengan perilakunya. Apa yang telah kita
lakukan, sebenarnya sudah kita lakukan dan kita tidak bisa mengubah
apa yang sudah terjadi. Kita hanya bisa mengubah apa yang belum
terjadi.

Dalam banyak tradisi kerohanian, tindakan adalah laku tertinggi dalam
praktek kesucian. Doa melalui tindakan (contemplatio in actione)
menempati level tertinggi dari hirarki doa itu sendiri.
Manusia-manusia suci tak tergantung lagi dengan ritual untuk
memanjatkan doa, tak tergantung lagi dengan tempat ibadah untuk
hening. Melalui tindakan, mereka berdoa dalam perilaku yang sederhana
setiap hari. Manusia seperti ini tak terganggu oleh kebisingan
sekitar,

atau terganggu oleh kesibukan yang menumpuk. Setiap tarikan nafas,
kedipan mata, gerakan tubuh, ucapan kata, adalah gerakan-gerakan doa
yang dia lakukan. Tindakan adalah rumah ibadahnya.

Suatu hari, ada iring-iringan Raja dengan segenap pengawalnya. Kereta
berkuda berderap ramai memasuki suatu desa, hingga menggugah hampir
seluruh warga berdiri di pinggir jalan, ingin melihat bagaimana raja
dan rombongannya lewat. Di sela-sela keramaian, ada seorang pemuda
yang berjalan menyusuri jalan tersebut, hingga ia melihat ada seorang
pandai besi yang tetap bekerja menempa besi-besi yang sudah
dipanggangnya di api. Si pandai
besi itu kelihatannya tidak terusik dengan kedatangan sang Raja, ia
tetap bekerja seperti sedia kala. Maka pemuda itu mendekatinya dan
bertanya, "Apakah kamu tahu, siapa yang baru saja lewat di pinggir
jalan?" Lalu si pandai besi itu menjawab, "Aku tidak tahu." Maka,
sejak saat itu, si pemuda memutuskan untuk berguru kepada si Pandai
Besi dan menjadi muridnya.

Banyak orang beragama saat ini menjadi cengeng. Sedikit ada suara
berisik di luar tempat ibadah, mereka marah-marah dan merasa terusik.
Ada seorang pemuka agama yang marah-marah di atas mimbar, karena di
belakang ada suara
anak-anak yang sedang bermain dan ada yang menangis. Pemuka agama ini
mengatakan, suara-suara itu mengganggu kekusukan dan kekidmatan
berdoa. Suatu kali, Yesus sedang mengajar orang-orang yang berkerumun
mengikuti-Nya,
hingga tiba-tiba Ia mendengar suara gaduh anak-anak di luar yang
hendak masuk ke ruangan tetapi diusir oleh para murid-Nya. Maka Yesus
berkata, "Kenapa kalian usir anak-anak itu, biarkanlah mereka masuk,
sebab anak-anak inilah yang empunya Kerajaan Surga. Kalau kalian tak
mau menjadi seperti anak kecil ini, kalian akan kehilangan surga."
Jika Tuhan hanya kita temukan
di tempat yang tenang dan damai, ber-AC dan bersih, dan tidak bisa
kita temukan di tempat yang berisik dan kumuh, maka kita telah
menemukan Tuhan yang salah.

Si Pandai Besi, adalah teladan kita, bahwa dalam pekerjaannya dia
sedang melakukan hubungan yang intim dengan Tuhan, sampai-sampai,
suara-suara di luar sana menjadi tiada. Keintiman dan keheningan kita
bersama Tuhan, mengalahkan keramaian dan kegaduhan yang ditimbulkan
oleh dunia ini.
Suara-suara di luar sana, tak ubahnya suara televisi atau radio, bisa
kita atur volumenya, besar atau kecil, atau kita matikan sama-sekali.
Si Pandai Besi adalah teladan kita, bahwa ibadah dan perilaku, adalah
satu.

Sesungguhnya, kita tak pernah benar-benar percaya, bahwa Tuhan itu
ada. Para filsuf menyebutnya, ateisme praktis, ketidakpercayaan pada
Tuhan dalam tindakan, meskipun selalu memuji dan mengakui-Nya. Vijay
Eswaran, seorang
pejiarah batin, menulis begini, "Jika Anda menerima Tuhan, Anda harus
memahami bahwa Dia ada dalam semua yang kita lakukan. Dalam semua
relasi. Dalam semua tantangan. Dalam semua rintangan. Kerja sebagai
ibadah jika dilakukan bersama-Nya di pikiran kita. Jika tanpa
menyertakan Dia, pekerjaan
itu akan menjadi pengakuan dosa." Tuhan itu bukan soal dimana Dia
berada sehingga kita membangun sebuah rumah untuk berdoa atau sebuah
tempat yang kita sebut tanah suci. Bukan soal kapan waktu yang tepat
untuk bertemu dengan-Nya, sehingga kita menetapkan hari dan waktu
tertentu untuk berdoa.
Seorang sufi menulis, "Mereka yang jauh dari Ka'abah berdoa dengan
menghadap Ka'abah. Tetapi mereka yang berada di dalam Ka'abah, berdoa
menghadap kemanapun yang mereka inginkan." Semua tempat suci dan semua
waktu bernilai
di mata Tuhan. Jika tidak, kenapa Dia menciptakan- Nya. Tuhan juga
bukan soal teologi seperti apa dan filsafat aliran mana, sehingga
konstruksi di luar skenario pikir itu sesat dan bidah. Tuhan itu
adalah soal apa yang kita yakini ketika kita bertindak. Tindakan yang
kita lakukan dengan kesungguhan hati, telah menjadi doa. Maka, hidup
ini adalah sebuah kitab suci tertua dan terbuka yang ditulis oleh
Tuhan sendiri, alam ini adalah ruang ibadah kita
tanpa dinding dan tanpa atap, sesama kita adalah wujud wajah-wajah
Tuhan yang menyamar yang perlu kita layani dengan setulus hati dan
tindakan kita adalah ritual suci di hadapan altar agung Yang Illahi.
Suatu kali, seorang sahabat mengirim sebuah puisi yang ditulis W.S.
Rendra (Almarhum) kepada saya. Puisi ini, katanya ditulis ketika
beliau sedang terbaring sakit di ranjangnya sebelum meninggal. Saya
mengutipnya di sini untuk bekal perjalanan kita ke dunia hati.

Seringkali aku berkata, ketika semua orang memuji milikku

Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan

Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya

Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya

Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya

Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi mengapa aku tak pernah bertanya:

Mengapa Dia menitipkan padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat,

Ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,

Kusebut itu sebagai ujian,

Kusebut itu sebagai petaka,

Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku

Aku ingin lebih banyak harta,

Ingin lebih banyak mobil,

Lebih banyak popularitas,

Dan kutolak sakit,

Kutolak kemiskinan,

Seolah semua "derita" adalah hukum bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya

Harus berjalan seperti matematika:

Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,

Dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku"

Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti,

Padahal tiap hari kuucapkan,

Hidup dan matiku hanya untuk beribadah.

"Ketika langit dan bumi bersatu,

Bencana dan keberuntungan sama saja".....

Semua manusia akan mati, tetapi hanya orang-orang tertentu yang tetap
kita kenang. Apa yang kita kenang dari mereka? Kita mengenang apa yang
telah mereka lakukan untuk peradaban dan kemanusiaan, untuk kehidupan
yang lebih
baik di dunia ini. Kita tidak sekedar mengenang apa yang mereka
katakan, tetapi mengenang tindakan yang terekam dalam kata-kata
mereka. Kita memang
mempercayai orang dengan kata-katanya, tetapi kita menghargai mereka
dengan perilakunya. Maka jika Anda ingin meninggalkan jejak kenangan
dalam hidup ini, hiduplah seperti hujan yang turun ke bumi, setelah
selesai, dia akan meninggalkan bau harum dari tanah yang dibasahinya.
Tinggalkan perbuatan yang baik, perilaku yang bermartabat, dan
tindakan yang membawa kemuliaan.

Jangan menunggu, waktu tidak akan pernah "benar-benar tepat".

Mulailah dari tempat Anda berdiri sekarang,

dan bekerjalah dengan menggunakan alat apapun yang Anda miliki,

dan alat-alat yang lebih baik akan ditemukan

saat Anda melakukan pekerjaan Anda

(Napoleon Hill)

--
"Only two things are infinite: The universe and human stupidity. And I
am not so sure about the former." Einstein.
(Please delete it from your files if you are not interested. Thank you
for your kind compliance).

Aug 18, 2010

*Berpikir Yang Baik Tentang Sesama*

Suatu hari seorang bapak kehilangan uang sebesar lima ratus ribu
rupiah. Ia sudah mencari ke mana-mana, namun tidak ia temukan. Ia sudah
berusaha mengingat-ingat apakah uangnya itu tertinggal di kantor atau jatuh
di jalan. Namun ia tidak ingat apa-apa. Yang pasti adalah ia memasukkan
uangnya itu ke saku celananya, bukan di dompetnya. Karena itu, ia menaruh
curiga terhadap pembantu rumah tangga yang pagi harinya mencuci celananya.

Namun ia tidak mau cepat-cepat menuduh. Sepulang dari kantor, ia
bertanya kepada istrinya tentang uang lima ratus ribu rupiah yang hilang
itu. Sang istri juga tidak tahu. Ia hanya memindahkan celana suaminya yang
kotor itu lalu meletakkan di kamar mandi. Setelah itu, pembantu yang mencuci
celana dan pakaian-pakaian yang lain. Bapak itu semakin bingung mendengar
penjelasan istrinya. Ia semakin kuatir, karena uang itu bukan miliknya. Uang
itu milik bersama teman-teman di kantornya.

Akhirnya, ia memberanikan diri bertanya kepada sang pembantu.
Sambil tersenyum, pembantu itu berkata, “Pak, saya simpan uang bapak. Bapak
tidak usah cemas. Uang bapak selamat.”

Bapak itu memandang penuh senyum dan terima kasih kepada pembantu
itu. Ia memeluknya. Ia meminta maaf kepadanya, karena sudah berprasangka
buruk terhadapnya.

Sering orang mudah berprasangka buruk terhadap sesamanya.
Kesalahan yang dibuatnya sendiri dituduhkan kepada orang lain. Kecerobohan
diri sendiri dilimpahkan kepada orang lain. Orang mau melempar kesalahan
dirinya kepada orang lain.

Kisah tadi mengajak kita untuk hati-hati dalam menuduh orang lain.
Belum tentu orang yang kita tuduh itu seburuk yang ada dalam pikiran kita.
Ternyata orang yang dituduh melakukan hal yang buruk itu orang yang baik.
Orang yang peduli terhadap sesamanya. Orang yang mau menyelamatkan
sesamanya.

Ketika Anda berhadapan dengan suatu persoalan, Anda mesti
tanggalkan prasangka-prasangka. Prasangka itu seperti sepatu yang enak
dipakai, tetapi tidak bisa dipakai untuk berjalan. Mengapa ada
prasangka-prasangka? Karena orang tidak menguasai persoalan yang ada. Orang
masih meraba-raba tentang suatu persoalan. Orang mesti berusaha menguasai
sungguh-sungguh suatu persoalan.

Orang akan memiliki pandangan yang lebih jernih dan enak, kalau ia
mampu melepaskan diri dari prasangka-prasangka. Persoalan hidup pun akan
mudah diatasi. Untuk itu, orang mesti membersihkan dirinya dari pikiran yang
buruk tentang orang lain. Orang mesti memiliki suatu pikiran positif tentang
orang lain.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menemukan hal-hal yang
baik dalam diri sesama kita. Dengan cara ini, kita akan melihat sesama
dengan mata yang jernih dan baik. Kita akan membangun suatu relasi yang
lebih baik dengan sesama kita. Hidup kita akan bahagia dan damai. Tuhan
memberkati. **



Frans de Sales, SCJ