Minggu Biasa VI (B/II)
"Sembuh, karna Mau Disentuh"
Im 13:1-2.45-46; 1Kor 10:31-11:1; Mrk 1:40-45
Sebuah luka, pasti sakit sekali kalau kena meja. Biasanya, kalau anggota badan kita terluka, kita akan hati-hati saat berpapasan dengan orang lain, jangan sampai orang menyenggol luka kita. Kalau luka itu sampai tersenggol, apalagi terinjak, kita pasti langsung mengaduh-aduh, atau menahan rasa sakit sambil mengernyitkan wajah. Kadang-kadang kita sengaja menunjukkan ekspresi wajah yang kesakitan itu ke orang lain, supaya orang itu sadar bahwa ia sudah menyenggol luka kita. Dengan kata lain, kalau kita sedang terluka atau sakit, kita itu tidak boleh disentuh oleh siapapun. Kita lalu menjadi untouchable, "tak tersentuh". Kita seperti seseorang yang sakit parah namun mengusir dan mengancam semua perawat yang mencoba merawatnya.
Dari orang-orang yang terluka, baik jasmani maupun hatinya, kita bisa mengamati reaksi yang diperlihatkannya. Sekurang-kurangnya ada dua reaksi. Pertama, ia akan menjauh, mengambil jarak, atau tiba-tiba menghilang. Ia menjauh karena malu dan takut, merasa terkutuk, kotor, dan berdosa. Yang kedua, orang itu sengaja memutus hubungan, tapi lebih karena gengsi, kecewa, dan demi harga diri. Secara tidak sengaja ia akan melemparkan kesalahan pada orang lain, "Saya tidak akan minta tolong kamu lagi!" Kedua reaksi ini muncul dari hati yang terluka karena ditolak, dikritik, dan dikoreksi, maupun juga karena sebuah kesalahan yang sebenarnya tak ingin dilakukannya tapi toh telanjur terjadi.
Orang kusta yang datang kepada Yesus ini hebat sekali! Seandainya kita tahu seperti apa perlakuan masyarakat terhadap orang kusta pada waktu itu, kita pun akan kagum dan menghargai perjuangannya itu. Kitab Imamat (Bac.I) menunjukkan kesulitan dan kehinaan macam apa akan yang dialami kalau orang kena penyakit kusta: "mereka harus berpakaian cabik-cabik, rambutnya terurai, menutupi mukanya dan berseru-seru: Najis! Najis! Memang ia najis; ia harus tinggal terasing, di luar perkampungannya!" Konon, mereka harus membunyikan lonceng kecil kalau mau lewat di sebuah jalan supaya orang-orang di situ bisa menyingkir dari mereka dan meludah dengan jijik. Menyedihkan dan mengharukan! Orang yang sudah menderita karena penyakitnya, masih harus dibuang seperti binatang dan mengutuki dirinya sendiri!
Kalau saja Markus menggambarkan lebih lengkap situasi waktu itu. Orang-orang yang berkerumun di sekitar Yesus pasti panik dan berteriak-teriak karena ada orang sakit kusta yang mendekati mereka. Mereka pasti sudah berusaha mengusir atau melempari batu orang itu supaya jangan mendekat. Terbayang bahwa orang itu tetap merangsek maju karena ia mau bertemu dengan Yesus. Ia mau sembuh! Ia pasti membiarkan batu-batu itu melayang ke muka dan badannya. Ia menahan diri dari hinaan dan ludahan orang-orang yang menghalangi jalannya.
Sekarang kita mengerti mengapa hati Yesus tergerak oleh belas kasihan. Ia benar-benar terharu karena iman orang ini. Ia bahkan lebih lagi membuat takut banyak orang karena kemudian mengulurkan tangan-Nya, dan… menjamah orang itu! (Tidak ada orang yang berani menjamah penderita kusta pada waktu itu. Tindakan ini melanggar hukum!).
Di zaman kita ini, bukan beberapa, tapi hampir semua orang pernah terkena "kusta". Hampir semua orang pernah jatuh dalam kesalahan, pernah terlibat dalam sebuah skandal, pernah berdosa, pernah "habis" hidupnya karena dikucilkan, dijauhi, dan dihina oleh orang lain karena kesalahan yang dilakukan itu. Akan tetapi, berapa banyak yang berani mengambil risiko untuk disembuhkan? Berapa kali kita dengar kata-kata, "Kalau engkau mau, tolonglah aku…"? Berapa banyak yang mau mendekat dan membiarkan lukanya itu disentuh supaya sembuh? Kengerian akan risiko-risiko itu telah membuat kita selalu mundur teratur, memilih tenggelam dalam kesusahan kita, malah seakan-akan berbesar hati karena rela menanggung sendiri segala konsekuensi.
Itu bukan berbesar hati, tapi gengsi. Malu, dan takut—ah, sama saja—terhadap risiko dicemooh dan dicap oleh orang lain. Seseorang pernah menggelapkan uang Gereja. Karena ketahuan, ia dikeluarkan dari kepengurusan. Lalu ia tak pernah kelihatan lagi di Gereja. Ia memilih untuk tidak mengakuinya, tidak minta tolong, dan tidak mau dibantu. Ia akan terus seperti itu, menjadi orang yang terluka, selama ia tidak pernah mau mengambil risiko-risiko supaya disembuhkan.
Semoga kita masih berani untuk minta disembuhkan, minta tolong kepada orang lain. Sebaliknya, semoga kita juga belajar untuk menjamah dan merawat luka orang lain juga. Gereja ini, komunitas kita ini, mestinya menjadi tempat untuk menyembuhkan orang-orang yang terluka dan dibuang oleh masyarakatnya. Kalau bukan kita yang sakit, jangan pernah menunggu untuk menawarkan diri, "Aku mau. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" Amin.
No comments:
Post a Comment