Pater Wijbrand

Pater Wijbrand
CRESCAT ET FLOREAT

Jan 20, 2010

INTI KOMUNIKASI

Sahabat-sahabatku terkasih,

Apakah sebenarnya inti komunikasi suami isteri, orang tua dan anak, antar saudara serumah (termasuk dalam sebuah komunitas biara sekalipun)? Inti komunikasi itu tidak terletak pada "perkataan" kita yang harafiah kita ucapkan saja, melainkan terletak dalam kesatuan "tindakan memberikan diri". Apa artinya "memberikan diri?"

1. Memberikan diri itu tidak identik dengan "perbuatan baik"
Banyak orang mengartikan tindakan “memberikan diri” itu sebagai perbuatan baik, sebagai kewajiban yang sudah semestinya dijalankan sebagai suami, isteri, atau anak, atau sebagai anggota komunitas. “Memberikan diri” itu pertama tama berarti sebuah kerelaan untuk kehilangan “apa yang paling kuanggap istimewa!” Apa yang istimewa dalam diri kita? Bisa jadi yang istimewa itu bisa berupa “perasaan gengsi”, ambisi untuk disanjung, dipuji, diistimewakan, dan ambisi untuk mengontrol orang lain, ambisi untuk mematahkan pendapat orang lain dengan berbagai argumen yang hebat, ambisi untuk menikmati fasilitas sampai orang lain pun sesama saudara tidak boleh ikut menggunakannya.
Kalau kita kenal “apa yang istimewa” dalam diri kita, itulah yang mesti kita lepaskan. Kita akan melepaskan “yang istimewa” kalau kita berani untuk “MENCIPTAKAN KESEMPATAN” untuk ditolak, dikecewakan, diremehkan, dikritik. Kesempatan itu diciptakan dengan gaya hidup yang “MENAWARKAN”. Misalnya, “Mas, mau minta tolong, apa bisa antar saya ke pasar Manis, sebentar? Dhe, apa Mas bisa minta dibuatkan kopi manis? Nak, tadi masakan ibu, enak atau tidak?” Pertanyaan-pertanyaan macam itu membuka kemungkinan, orang yang kita mintai tolong, akan menolak dengan berbagai alasan, “Aku capek, berangkat sendiri saja! Kenapa sih nggak bisa buat kopi sendiri, kan punya tangan punya kaki! Ah masakan Ibu, nggak enak, enakan masakan Mbok Tun”.. Dengan cara “MENAWARKAN” itulah, terjadi kemungkinan kita ini mengalami “kekecewaan, penolakan, bahkan diremehkan” oleh pasangan sendiri, atau anak sendiri. Pada saat itulah, Anda mengalami “kehilangan keinginan diistimewakan, dipuji, atau disanjung! Dengan model komunikasi begitu, kita sebenarnya mulai belajar “MEMBERIKAN DIRI”. Fokusnya bukan pada perbuatan baik, melainkan fokusnya pada gaya komunikasi yang “MENAWARKAN”.

2. “Memberikan diri” itu tidak lain aktualisasi kehendak bebas sebagai anak Allah
Orang yang mau memberikan dirinya sebenarnya mengaktualisasikan kehendak bebasnya sebagai anak Allah. Kehendak bebas itu tidak digunakan untuk berbuat dosa melainkan justru untuk berani bermatiraga (menyangkal diri) agar terwujudlah pemberian diri bagi sesamanya. Kehendak bebas itulah yang dianugerahkan Tuhan saat peristiwa misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Kehendak bebas itu dapat diwujudkan justru hanya dalam “keterbatasan”, atau dalam “keterikatan” yang jelas. Suami isteri, karena terikat janji pernikahannya, mereka bebas untuk saling mengasihi satu sama lain secara total. Artinya, jelaslah prioritas mengasihi sesama itu bukan “sekedar sesama”, tapi sesama itu adalah pasangan hidupnya dan anak-anaknya, karena perkawinan selalu terbuka akan keturunan.. Demi prioritas kasih itulah, lalu pilihan tindakan suami isteri, orang tua terhadap anaknya juga mesti dipilih atas dasar titik pijak prioritas itu.

Misalnya, saat muda, seorang ayah senang sekali mancing, kemanapun cari berbagai macam kolam pemancingan. Kesenangan itu tidak dapat dipenuhi sepenuhnya dalam hidup berkeluarga. Apakah dengan demikian keluarga membatasi hobi? Bukan itu masalahnya, tapi kalau ayah ibu yakin dirinya dipanggil untuk mencintai total anaknya, maka “memancing” itu mesti menjadi urutan terbelakang! Itulah resiko yang harus ditanggung karena memprioritaskan cinta kepada keluarga. Kalau ayah itu lebih suka memancing daripada menemani anaknya belajar, itu berarti “memancing” jauh lebih berharga daripada “seorang anak”.

Demikian juga seorang ibu, tidak bisa nonton acara TV terus menerus, sementara anaknya minta makan. Ibu itu akan berhenti nonton TV karena anaknya mesti nomer satu dicintai. Kalau ibu itu nonton TV terus, lalu anaknya disuruh makan mie instan saja, itu berarti “ibu itu lebih cinta TV” daripada anaknya.

3. Memberikan diri itu rela memperkenalkan “isi hatinya” terdalam kepada pasangan hidup atau anak-anaknya.
Saat masih muda, suami isteri dulu senang berdebat & saling mempertahankan pendapatnya masing-masing. Setelah hidup berkeluarga, cara berpikirnya mesti diubah, bukan memperdebatkan siapa yang salah atau siapa yang benar, melainkan belajar untuk mengungkapkan perasaan hatinya.. Misalnya, pagi hari, seorang suami itu bangun jam 7 pagi, sementara isterinya sudah mondar mandir kerepotan mempersiapkan masakan, memandikan anak, membantu mengenakan pakaian, sampai bahkan menyuapi mereka makan. Lalu setelah itu isterinya masih mengantar ke sekolah. Sementara suaminya dengan tenang masih tidur. Situasi itu bisa memicu konflik yang berkepanjangan. Isteri yang punya “cinta” akan mengatakan begini, “Mas, aku pingin mengungkapkan kekecewaanku. Pagi tadi aku merasa kecewa, karena Mas tidak bangun pagi, padahal terdengar sekali, keributanku berkata-kata keras, dan membentak kepada anak anak. Aku merasa bekerja sendiri. Apakah yang salah dari diriku, sampai Mas tidak mau bangun dan menemaniku untuk membereskan pekerjaan rumah tangga pagi tadi?”
Menghadapi suami yang bangun siang, seorang istri yang kurang “cintanya”, akan cepat reaktif dan marah, “Kenapa sih, bangun jam 7, apa nggak tahu, aku kerepotan! Katamu aku isterimu, dan kamu suamiku, tapi mana buktinya? Kamu malah tidur enak enak, sementara aku banting tulang sana sini!”
Suami yang punya “cinta” akan mengatakan begini, “Baik Dhe, saya minta maaf ya, saya akui bagaimanapun diriku salah, karena tidak bicara denganmu kenapa aku bangun sampai jam 7, sehingga menyusahkan dirimu. Tadi pagi aku pusing sekali! Salahku, aku diam saja, tidak mengatakan sakitku padamu!
Suami yang kurang “cinta” akan langsung bereaksi, “Emang nggak boleh apa bangun siang, siapa yang melarang? Ini rumah juga rumah gue, bukan rumahmu! Nggak usah marah marah deh! Emang hebat apa kalau sudah bisa marah marah ama suami?”

Begitulah rasanya “komunikasi pertama tama” bukan soal hanya perkataan baik, halus atau lembut, melainkan apakah kita memiliki “cinta” itu? Kalau kita tidak memiliki cinta itu, baiklah kita meminta “Roh Cinta”, yakni Roh Allah sendiri agar menaburkan benih benih cinta itu kepada kita semua, agar komunikasi kita tidak didasarkan sekedar pada “penting atau tidak”, tapi didasarkan pada keyakinan, Allah pun mencintai pasanganku, suami isteri, & anak anak! Akhirnya inti komunikasi suami isteri & anak-anak bukan pada “perkataan” melainkan terutama pada “sikap batin”.
Semoga tumbuhlah semakin banyak keluarga keluarga yang bersedia saling memberikan diri, agar kasih setia Allah kepada manusia menjadi nyata dalam kasih setia suami isteri di tengah dunia ini.
warm regards
bslametlasmunadipr

No comments: