Pater Wijbrand

Pater Wijbrand
CRESCAT ET FLOREAT

Jun 5, 2010

JAHE DAN EKARISTI

Saya yakin teman-teman pasti tidak asing dengan tanaman seperti jahe, kunir, temulawak, dsb. Tanaman obat itu berkembang biak secara menjalar dengan munculnya tunas kecil (atau stem) yang akan membesar, lulu siap akan memunculkan tunas yang baru dan seterusnya. Kalaupun dipisahkan dari induknya, jahe yang baru akan bertahan hidup. Setiap kali dipotong dan ditanam lagi, akan tumbuh tunas lagi dan seterusnya. Meskipun tanaman seperti jahe itu berkembang semakin banyak,namun induk jahe tidak pernah lalu “menonjolkan diri”, akan tetapi jahe yang sudah menua pun tetap akan tumbuh di bawah tanah. Akan tetapi kalau jahe itu ditanam di tanah dengan kedalaman humus sekitar 1-3meter, jahe itu akan tumbuh memanjang ke bawah . Bukankah tanaman jahe itu bisa menjadi lambang orang yang mampu membuat kaderisasi, namun dia tidak pernah berusaha untuk menonjolkan diri? Jahe tidak pernah punya kesempatan untuk berkata, “Akulah yang paling hebat! karena tunas-tunas jahe berikutnya dapat berdiri sendiri.” Jahe itu menunjukkan simbolisasi orang yang diutus untuk mengakader kaum muda, tidak merasa lebih tinggi, tapi justru tetap berada tersembunyi, seperti jahe tumbuh di bawah tanah.




Bukankah juga para murid sebenarnya diutus oleh Yesus dengan diberi kuasa untuk menyembuhkan dan memberitakan Kerajaan Allah, namun juga sekaligus, dipanggil untuk membuat kaderisasi dengan “mewariskan” hidup berimannya. Apa yang terjadi? Para murid belum menangkap tugas itu, sehingga Yesuslah yang turun untuk mengajarkan para murid bagaimana mereka “tergantung pada kasih Allah”, juga kalau ternyata bekal mereka tidak mencukupi, hanya 5 roti dan 2 ikan!


LIma roti dan dua ikan

Setelah para murid diberi kuasa untuk mewartakan Kerajaan Allah dan menyembuhkan orang sakit, para murid ditantang Yesus “Kamu harus memberi mereka makan!” untuk lima ribu orang laki laki, padahal belum termasuk kaum perempuan dan anak anak! Namun, jawab para rasul, “Yang ada pada kami tidak lebih dari pada lima roti dan dua ikan, kecuali kalau kami pergi membeli makanan untuk semua orang banyak ini.” Kalau diungkapkan secara terang-terangan, para rasul mau mengatakan begini, “Mana mungkin lima roti dan dua ikan itu cukup untuk 5000 orang lebih? Nggak masuk akal, kalau kami diminta membaginya! Pasti ada yang tidak mendapatkan, bahkan kalau 5 roti dan 2 ikan itu sudah dipotong-potong sampai kecil sekalipun! Yesus, yang bener saja, Engkau memerintah kami tapi tidak melihat “jumlah bekal yang kami miliki!”.

Yesus tidak menjawab persoalan para murid tentang “kurangnya 5 roti dan 2 ikan”. Akan tetapi Yesus langsung menyuruh para murid untuk membentuk setiap 50 orang satu kelompok. Setelah itu Yesus mengajak para murid dan orang banyak untuk berdoa. ” Ia mengambil lima roti dan dua ikan itu, Ia menengadah ke langit, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya supaya dibagi-bagikannya kepada orang banyak”. Itulah kata kata ekaristi yang selalu kita dengarkan, “diambil, diberkati, dipecah-pecahkan, dan diberikan”.

Keempat kata itu menyimpulkan saat saat penting dan istimewa dari “perjalanan hidup manusia sebagai orang yang dikasihi Allah”. Karena itu Yesus mengajak para murid untuk mengenangkan, sebagai pribadi yang DIAMBIL oleh Allah. Diambil itu berarti dipilih dan diistimewakan. Kita diciptakan bukan karena pilihan manusia tapi pilihan Allah. Karena itu kita pun dicintai Allah secara istimewa.

Pengalaman “DIBERKATI” itu tidak lain adalah pengalaman sebagai manusia yang dipersembahkan oleh Yesus kepada Bapa. Diberkati bukanlah sekedar “tanda salib yang dibuat oleh para imam”, akan tetapi diberkati itu berarti sebuah pengakuan Allah, “Engkau sungguh istimewa dalam hidup-Ku karena Engkau anak-Ku, dan bukan anak dunia! Karena itu engkau bukan kesayangan dunia ini melainkan kesayangan Allah.

Pengalaman “DIPECAHKAN” itu merangkum bahwa hidup yang penuh kasih itu selalu menuntut kesediaan terluka. “Terluka tidak lagi menjadi situasi yang tak terhindarkan tetapi mesti menjadi sikap dasar” untuk mewujudkan kasih Allah kepada sesama. Kita bukanlah sebuah “gelas cantik” yang harus dirawat dan tidak boleh disentuh orang lain.Akan tetapi kita dipanggil untuk belajar mengalami “kematian” seperti biji. Biji jagung, biji padi, biji gandum, hanya akan tumbuh menjadi tunas baru dan kemudian berkembang menjadi tanaman yang berbuah, justru karena biji biji itu “mati” di tanah yang subur. “Mati seperti biji” itulah “keterpecahan yang paling pokok”, yakni belajar kehilangan apapun yang dianggap istimewa dan yang dianggap menjadi “identitasku”.

Belajar “mati” itu sungguh berat karena kita terbiasa untuk mengatakan “rasanya barulah kita menjadi ORANG kalau kita bisa hidup nikmat, fasilitas hidup serba ada, dikatakan hebat dan saleh, memiliki kekayaan dan kesempatan untuk berkuasa. Sementara Yesus mengajak kita untuk menjadi ORANG yang berani “MENYANGKAL DIRI” atau “MENGOSONGKAN DIRI”: berani kehilangan ambisi hidup serba instant, hilang kesempatan di dipuji dan diistimewakan, dan hilang kesempatan untuk kaya dan mengontrol orang lain”.

Akhirnya orang yang sudah belajar mati, pastilah akan terbuka untuk membagi hidupnya bagi orang lain, karena dia tidak lagi sibuk untuk “mengurus dirinya sendiri”: tida lagi cari hidup serba enak sendiri, cari popularitas sendiri, dan mau menangnya sendiri. Maka dengan MEMBERIKAN roti dan ikan kepada orang banyak, para murid sebenarnya diubah “mind-set”nya ..tidak hanya mereka membagikan roti dan dua ikan itu, tapi diajak untuk “belajar mati”: tergantung pada kekuasaan kasih ALlah daripada manusia.

Dengan tindakan itu, rasanya orang banyak yang berkumpul dalam kelompok itu TIDAK TAHAN untuk tidak mengeluarkan bekalnya masing-masing! Sulit dipikirkan bahwa orang banyak itu tidak membawa bekal, pastilah di antara mereka ada yang punya bekal, namun juga tidak. Ada situasi “tidak terjadi pemerataan”, sehingga orang yang membawa bekal hanya berpikir untuk diri sendiri, “Bagaimana saya dapat membagi bekal ini untuk orang lain, padahal untuk saya sendiri saja masih belum cukup!”

Tindakan Yesus yang mengambil, mengucap berkat, memecah mecahkan dan meminta para murid untuk membagikan roti dan ikan itu akhirnya “menggerakkan” perubahan sikap orang yang membawa bekal, untuk berbagi juga. Karena itu, mukjijat penggandaan roti itu terjadi sampai 12 bakul sisanya, karena orang banyak yang membawa bekal pun, tentulah tergerak untuk “membuka bekalnya, dan meyakini akan kasih setia Allah, sehingga mereka yakin, dengan berbagi mereka tidak akan kehilangan apapun, tapi justru mereka akan menemukan “jati dirinya’ sebagai pengikut Yesus.




Demikianlah setiap kali Ekaristi, kita dipersatukan dengan Tubuh dan Darah-Nya, karena itu kita juga dipanggil untuk hidup seperti Kristus hidup, bukan lagi seperti “diriku yang hidup!” Maka saat kita menyambut Tubuh dan Darah-Nya terjadilah “PERTUKARAN” secara nyata, hati kita yang rapuh dan lemah diganti dengan hati Yesus. Itulah artinya “bersatu dengan Tubuh dan Darah-Nya”. Bersatu bukan berarti lebur seperti bubur, tetapi artinya “terjadi pertukaran” (interchange).





Soalnya adalah, apakah kita menyadari PERTUKARAN itu, sehingga kita pun tertantang terus menerus untuk menampilkan gaya hidup Kristus di tengah dunia: rendah hati seperti tanaman jahe tadi, menjadi orang tua yang mendidik anak anaknya sampai mandiri, namun juga tidak merasa dirinya yang paling “hebat” dibanding anaknya; menjadi kaum religius dan rohaniwan yang mampu menumbuhkan motivasi, namun juga tidak terjebak dalam kepuasan diri, untuk dikatakan orang yang luar biasa.







Semoga Roh Allah mengubah hati kita agar terbentuklah komunitas basis yang ekaristis: memiliki semangat kerendahan hati untuk saling berbagi.

Selamat merayakan Tubuh dan Darah Kristus
B Slamet Lasmunadi Pr

No comments: